Pengertian Hukum Islam


Hukum Islam
atau biasa disebut Syariat Islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya.[1] Tentunya hal ini selalu mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw secara kaffah.

Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan Allah SWT untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah. Syariat Islam sendiri menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk bisa sampai kepada Allah SWT.

Islam tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana menjalankan ibadah untuk menjaga hubungan kepada Allah SWT saja, melainkan dengan syariatnya juga ada perintah untuk selalu menjaga hubungan dengan sesama manusia, dan tentunya hal itu bisa dilihat pada sumber ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Hadits.

Definisi hukum Islam adalah syariat yang berarti hukum atau aturan yang berupa wahyu dari Allah SWT kepada umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh umat muslim pada umumnya.

Ruang Lingkup

Ruang Lingkup Hukum Islam adalah objek kajian hukum Islam atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam yang meliputi syariah dan fikih.

Hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum publik.

Pembagian bidang-bidang kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam melakukan hubungan. Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablunminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah (Ahkam Al-Ibadat) dan bentuk hubungan yang kedua disebut muamalah atau kemasyarakatan (Ahkam Al-Mu'amalat).[2]

Hukum yang berkaitan dengan persoalan ibadah, contohnya iman, sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan hukum yang berkaitan dengan muamalah misalnya Munakahat, Wirasah, Muamalat dalam arti khusus, Jinayat, Al-ahkam al-sultoniyyah, Siyar, dan Mukhasamat.[3]

Sumber-sumber Hukum Islam


1. Al Qur'an

Al Qur'an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur'an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur'an merupakan ibadah. Al Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.[4]

2. Hadits

Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur'an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hashr : 7)[5]

Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.

3. Itjihad

Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur'an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga.[6]

4. Qiyas

Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya.[7] Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur'an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Qur'an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur'an.

5. Maslahah Mursalah

Maslahah secara harfiah berarti manfaat dan mursalah berarti netral. Sebagai istilah hukum islam, maslahah mursalah dimaksudkan sebagai segala kepentingan yang bermanfaat dan baik, namun tidak ada nash khusus (teks Al Qur'an dan Hadits Nabi SAW) yang mendukungnya secara langsung ataupun yang melarangnya. Dengan kata lain, maslahah mursalah adalah segala kepentingan yang baik yang tidak dilarang oleh Al Qur'an dan Hadits Nabi SAW dan juga tidak terdapat penegasannya di dalam kedua sumber itu secara langsung. Apabila suatu kepentingan yang baik ditegaskan secara langsung dalam Al Qur'an dan Hadits disebut maslahah mu'tabarah, dan apabila suatu yang menurut anggapan kita baik dan bermanfaat tetapi ternyata dilarang dalam kedua sumber tekstual itu, maka itu disebut maslahah mulgah (batal). Sementara itu, maslahah muralah bersifat netral dalam arti tidak ada larangannya dalam Al Qur'an dan Hadits, tetapi juga tidak ada pembenarannya secara langsung.[8]

6. Istihsan

Secara harfiah, istihsan berarti memandang baik dalam teori hukum islam. Istihsan merupakan suatu kebijaksanaan hukum atau terkecualian hukum. Maksudnya, kebijasanaan untuk tidak memberlakukan aturan umum mengenai kasus, melainkan untuk kasus itu diterapkan ketentuan khusus sebagai kebijaksanaan dan perkecualian terhadap ketentuan umum karena adanya alasan hukum (dalil) yang mengharuskan diambilnya kebijaksanaan hukum tersebut. Lazimnya dalam ilmu ushul fikih, istihsan diartikan sebagai “Meninggalkan ketentuan hukum yang umum berlaku mengenai suatu kasus dengan mengambil ketentuan hukum lain karena adanya alasan hukum untuk melakukan hal demikian.”[9]

7. Istishab

Istishab berarti kelangsungan status hukum suatu hal di masa lalu pada masa kini dan masa depan sejauh belum ada perubahan terhadap status hukum tersebut. Misalnya, seorang hilang yang tidak diketahui rimbanya, maka statusnya dianggap tetap masih hidup, karena sebelum hilang ia diketahui hidup sampai terbukti ia telah meninggal atau dinyatakan telah meninggal oleh hakim. Oleh sebab itu, selama belum ada bukti bahwa ia telah meningggal atau selama belum dinyatakan meninggal oleh hakim, maka harta kekayaannya belum dapat dibagikan kepada ahli waris.[10]

8. Saddudz-dzari'ah (Tindakan Preventif )

Secara harfiah, saddudz-dzari'ah artinya menutup jalan, maksudnya menutup jalan menuju sesuatu yang dilarang oleh hukum syariah. Sebagai terminologi hukum islam, saddudz-dzari'ah merupakan tindakan preventif dengan melarang suatu perbuatan yang menurut hukum syara' sebenarnya dibolehkan, namun melalui ijtihad, perbuatan tersebut dilarang karena dapat membawa kepada suatu yang dilarang atau yang menimbulkan mudharat. Para ahli ushul fikih mendefinisikan saddudz-dzari'ah sebagai pencegahan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerugian yang muktabar meskipun awalnya perbuatan-perbuatan tersebut mengandung maslahat.[11]

9. 'Urf ( Adat )

Adat atau urf dalam istilah hukum islam adalah suatu hal yang diakui keberadaannya dan diikuti oleh dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan nash syariah atau ijma'. Adapun yang mendefinisikan sebagai suatu kebiasaan masyarakat yang diakui oleh jiwa kolektif dan diterima oleh akal sehat, baik berupa perkataan ataupun perbuatan sejauh tidak bertentangan dengan nash atau ijma'.[12]

10. Qaul Sahabat Nabi SAW

Sahabat nabi adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi SAW dan pernah bertemu dengan beliau walaupun sebentar. Sementara itu, yang dimaksud dengan Qaul Sahabat Nabi SAW adalah pendirian seseorang sahabat mengenai suatu masalah hukum ijtihad baik yang tercermin dalam fatwanya maupun dalam keputusannya yang menyangkut masalah dimana tidak terdapat penegasan dalam Al Qur'an, Hadits Nabi SAW ataupun dalam ijma'.

Apabila Qaul Sahabat bukan merupakan ijtihad murni melainkan merupakan suatu yang diketahuinya dari Rasulullah SAW, maka Qaul tersebut dapat diterima sebagai sumber hukum. Begitu pula apabila para sahabat sepakat pendapatnya mengenai suatu masalah sehingga merupakan ijma', maka dapat menjadi sumber hukum.[13] Akan tetapi, apabila Qaul Sahabat merupakan hasil ijtihad murni, maka Qaul tersebut diperselisihkan oleh ahli hukum Islam apakah dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Sebagian menyatakan dapat menjadi sumber hukum sementara yang lain menyatakan tidak dapat menjadi sumber hukum. Pendapat yang lebih kuat seperti dikemukakan oleh asy-Syaukani dan Wahbah as-Zuhaili adalah bahwa Qaul murni Sahabat tidak merupakan sumber hukum, karena Sahabat dalam hal ini sama saja dengan manusia lainnya.

11. Hukum Agama Samawi Terdahulu (Syar'u Man Qablana)

Yang dimaksud dengan hukum agama samawi terdahulu adalah ketentuan hukum yang dibawa oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti Nabi Isa AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Daud AS dan Nabi Musa AS. Apabila hukum agama terdahulu tersebut tidak mendapat konfirmasi dalam hukum agama Islam, maka tidak menjadi sumber hukum islam.[14]

Yang menjadi pembicaraan para ahli hukum Islam dalam kaitan ini adalah aturan-aturan hukum agama terdahulu yang disebutkan di dalam Al Qur'an atau Hadits sebagai suatu cerita mengenai nabi-nabi terdahulu, bukan sebagai persyariatan hukum. Mengenai ini para ahli hukum Islam berbeda pendapat antara yang menjadikannya sebagai sumber hukum dan tidak.

Rujukan


  1. ^ Iriyani, Eva (2017). "Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia". Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 17 (2).
  2. ^ Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 6.
  3. ^ Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 56.
  4. ^ Husain Hamid Hasan, Nadzariyyah al-Malahah fi al-Fiqh al-Islami. (Mesir: Dar anNahdhah al-'Arabiyah, 1971), hal. 50.
  5. ^ Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan terjemahnya, (Bandung: Diponegoro,2010), hal. 906.
  6. ^ Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 15.
  7. ^ Ibid., hal. 17.
  8. ^ Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh. (Damaskus: al-Fikr, 1406/1986), hal. 858.
  9. ^ Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah…, hal. 19.
  10. ^ Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarta: Kencana Panamedia Group, 2010), hal.158.
  11. ^ Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer 2. (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal.457.
  12. ^ Ahmad Sudirman Abbas, Qawa id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih. (Jakarta : Radar Jaya Offset, 2004), hal.164.
  13. ^ Barzah Latupono, et. all., Buku Ajar Hukum Islam. (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2007), hal. 50.
  14. ^ Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2. (Jakarta: Panamedia Group, 2011), hal. 416.